Bagaimana barak militer Kang Dedi merubah anak2 di bandung

Pada pertengahan 2025, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (akrab disapa Kang Dedi) mencanangkan sebuah program pembinaan karakter dan bela negara melalui barak militer di kawasan Lembang, Bandung Barat. Program ini menargetkan siswa SMA dan pelajar bermasalah: tawuran, bolos, atau putus sekolah. Kang Dedi melihatnya sebagai respons terhadap maraknya kenakalan remaja dan lemahnya pengawasan orang tua. Hal penting yang membedakan program ini adalah pendekatan emosional: bukan hanya fisik dan disiplin, tetapi membangun kaitan rasa dan cinta antara negara, tokoh publik, dan peserta.

Menentukan Sasaran Peserta Program

Sebelum memasuki barak, peserta diseleksi secara ketat. Calon siswa diidentifikasi dari laporan sekolah atau masyarakat sebagai remaja berisiko—tawuran, bolos, atau konflik dengan keluarga. Program ini bukan jalur обычные hukuman, melainkan intervensi dini yang bersifat restrukturisasi mendalam. Kang Dedi menyatakan, “Ini urusan rasa, bukan urusan administrasi kenegaraan”. Para siswa kemudian dikirim ke Dodik Bela Negara Rindam III/Siliwangi, di mana mereka tinggal di asrama dengan pola pelatihan ala militer.


Metodologi Transformasi: Fisik, Mental, dan Spiritual

Di barak militer kang dedi, peserta mengalami rutinitas daring TNI:

  • Latihan fisik intensif seperti lari pagi, push‑up, dan baris‑berbaris.
  • Pelatihan mental mencakup seminar kedisiplinan, tanggung jawab, dan nasionalisme.
  • Pendekatan emosional: para tutor (purnawirawan TNI) memberi teladan langsung dan menjadi figur ayah pengganti.

Mereka dilatih untuk berdiri di atas kaki sendiri, menghargai aturan, dan mendekatkan diri ke nilai kemanusiaan. Di dalam TikTok, tampak perubahan suasana yang “dari disiplin ke tawa”, serta perkembangan psikis anak-anak yang luar biasa.

Dampak dan Perubahan Signifikan

Setelah 2–3 minggu pelatihan, para siswa menunjukkan kemajuan nyata:

  • Lebih taat aturan, disiplin tinggi, dan rasa tanggung jawab tumbuh.
  • Ada perubahan sosial terhadap lingkungan sekolah dan keluarga—indikasi “reintegrasi positif”.

Salah seorang siswa asal Bogor yang awalnya yatim dan tak ada keluarga yang mendampingi, bahkan langsung diangkat oleh Kang Dedi sebagai anak angkat, lalu dibina dan disekolahkan di Bandung.

Momentum Emosional: Peluncuran dan Peliputan Publik

Seremonial pemulangan siswa usai pelatihan disertai upacara di Lapangan Gasibu Bandung (20 Mei 2025). Kang Dedi terharu sekaligus menangis saat melihat perubahan anak-anak —saat mereka dipertemukan kembali dengan orang tua mereka. Ini bukan sekadar simbol politik, melainkan legitimisasi emosional dan media yang memperkuat narasi “negara hadir meraba hati anak bangsa”.

Kontroversi dan Kritik dari Publik

Sikap kontroversial juga muncul:

  • Beberapa pihak mempertanyakan legalitas gagasan itu (mengirim “anak nakal” masuk barak militer), menyoroti potensi pelanggaran hak anak dan kekhawatiran militerisasi pendidikan oleh sipil.
  • Pelaporan ke polisi terhadap Kang Dedi oleh kelompok tertentu menunjukkan ada tensi hukum atas penggunaan intervensi militer dalam wacana sosial pendidikan.

Meskipun demikian, mayoritas masyarakat memberikan apresiasi atas hasil nyata yang ditunjukkan dalam perubahan anak-anak.

Peran Emosional dan “Orangtua Ganda”

Kang Dedi menyatakan dirinya siap menjadi orangtua angkat bagi siswa yang tidak punya orang tua atau tak ada pendamping saat kegiatan penutup. Ia berkomitmen membiayai pendidikan mereka, menyediakan tempat tinggal—menandai bentuk negara hadir yang sangat personal. Ini mencerminkan sebuah strategi politik emosional, di mana figur publik memposisikan diri bukan hanya sebagai pengarah, tetapi pelaku langsung dalam pengasuhan sosial.

Implikasi Politik dan Potensi Replikasi

Sebagai analis politik, ada beberapa poin penting:

  1. Model “negara meresapi rasa rakyat”—pendekatan empati yang bisa ditiru oleh pemimpin daerah lain.
  2. Risiko preseden militerisasi pendidikan sipil—membuka perdebatan soal batas antara disiplin dan instrumen kekerasan laten.
  3. Politik identitas—Kang Dedi mengukuhkan citra ayah kebangsaan; memeluk figur anak-anak publik memperkuat basis politiknya di kelas menengah dan bawah.
  4. Public relations dan media—narasi emosional melalui media seperti Kompas dan YouTube menciptakan imaji dramatis dan simpatik.

Sukses Relasional dan Karakter

“Barak Militer Kang Dedi” menjadi simbol keberhasilan kombinasi strategi sosial dan politik:

  • Secara kultural, mengembalikan anak bermasalah ke pangkuan disiplin, rasa dan cinta negara.
  • Secara politik, meningkatkan citra Kang Dedi sebagai figur publik yang “hidup membumi”, merangkul anak-anak terlantar dan berpotensi bermasalah.

Apakah model ini layak direplikasi? Tergantung pada legalitas, kesiapan sumber daya sipil-militer, dan seberapa jauh masyarakat siap menerima bentuk intervensi ala TNI dalam konteks sipil. Namun yang pasti, ini membuka bab baru dalam politik emosional dan pembangunan karakter berbasis nilai, bukan hanya retorika.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *