Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja membuat keputusan bersejarah yang mengubah lanskap demokrasi Indonesia pemilu nasional dan pemilu daerah harus dipisahkan. Jika selama dua dekade terakhir rakyat Indonesia selalu mencoblos calon presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, bupati/wali kota hingga gubernur pada hari yang sama, kini mulai 2029 semua harus dipisah. MK memutuskan, pemilu nasional (presiden, DPR, DPD) dan pemilu daerah (pilkada dan DPRD) tidak boleh lagi dilaksanakan serentak, tetapi dengan jeda waktu minimal dua tahun. Keputusan ini langsung disambut gelombang keluh kesah dari partai-partai politik (parpol) yang selama ini menjadi aktor utama di Tanah Air.
Isi Putusan MK dan Implikasinya

Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 ini keluar di tengah diskusi publik mengenai efektivitas dan keadilan sistem pemilu serentak. Dalam amar putusan, Mahkamah menyebut pelaksanaan serentak bertentangan dengan UUD 1945 karena menyulitkan rakyat dalam menentukan pilihan serta membebani penyelenggara. Putusan tersebut menyebutkan, pemilu nasional berikut pileg harus digelar terlebih dahulu, sementara pilkada dan pemilihan umum legislatif daerah digelar selambat-lambatnya dua setengah tahun setelah pelantikan presiden terpilih.
Parpol Bingung, Bawaslu dan KPU Wajib Siap
Keputusan ini langsung membuat partai politik melakukan kalkulasi ulang strategi politik, logistik, kaderisasi, hingga anggaran kampanye. Banyak elite parpol menilai keputusan MK keluar tiba-tiba dan mengubah peta strategi pemenangan di semua level. Bawaslu dan KPU pun mendapat tugas berat merancang ulang seluruh tahapan, perangkat, dan sosialisasi pemilihan umum, serta menyesuaikan kalender politik nasional yang sudah terjadwal hingga 2029.
Keluh Kesah dan Reaksi Parpol

Golkar dan Demokrat: Rasa Tidak Konsisten
Golkar mengaku kecewa dan menyebut putusan MK tidak konsisten dengan semangat efisiensi serta efektivitas pemilihan umum yang selama ini dibangun bersama. Partai Demokrat menyoroti potensi masa jabatan anggota DPRD dan kepala daerah menjadi tidak seragam, bahkan diperpanjang, sehingga dikhawatirkan menimbulkan ketimpangan representasi politik dan beban anggaran daerah.
NasDem: Kedaulatan Rakyat Dikebiri
Surya Paloh, Ketua Umum Partai NasDem, menyebut putusan MK sebagai pembalikan logika berdemokrasi. Ia menilai, dengan pemilu terpisah, rakyat harus dua kali datang ke TPS, dua kali disuguhi janji politik, dan dua kali pula energi bangsa terkuras untuk logistik, pengawasan, hingga penyelesaian sengketa. Parpol mengingatkan, keputusan yang diambil tanpa konsultasi mendalam bisa memicu delegitimasi proses pemilu itu sendiri.
PKB dan PDIP: Masalah Hukum hingga Konsolidasi
PKB menilai, keputusan MK membuka kemungkinan terjadinya kekosongan jabatan kepala daerah karena masa transisi yang terlalu panjang atau justru memperpanjang masa jabatan pejabat sementara (Pj). PDIP menawarkan solusi kompromi: pilpres dan pileg nasional digabung, pilkada dan pileg daerah menyusul. Tapi hingga kini belum ada titik temu antarparpol. Semua menuntut adanya revisi segera terhadap UU Pemilu dan Pilkada agar pelaksanaan tahapan pemilu yang dipisah berjalan tanpa cacat hukum.
Dampak Nyata: Dari Anggaran Sampai Risiko Demokrasi

Dengan dua pemilu besar dalam lima tahun, partai politik harus merancang ulang strategi pendanaan kampanye, penyesuaian kaderisasi, bahkan logistik saksi. KPU, Bawaslu, dan Kemendagri pun harus menyiapkan dua tahapan verifikasi dan pengawasan, dua kali pengadaan logistik, dua kali penetapan sengketa, dan dua kali risiko keamanan politik identitas. Banyak analis menilai ini berisiko memperpanjang polarisasi di masyarakat dan memperbesar peluang politik uang.
Masa Jabatan dan Kekosongan Kekuasaan
Banyak daerah kini berisiko mengalami kekosongan kepala daerah karena masa jabatan habis sebelum pilkada berikutnya. Akibatnya, Pj kepala daerah yang ditunjuk pusat bisa menjabat dua tahun lebih, tanpa legitimasi rakyat. Parpol khawatir, kekosongan ini akan dimanfaatkan elite untuk membangun jaringan kekuasaan non-demokratis di tingkat lokal.
Tahapan Lanjutan: Revisi UU dan Konsolidasi Politik
DPR segera membentuk tim khusus bersama KPU, Kemendagri, serta perwakilan parpol untuk mengkaji seluruh implikasi keputusan MK. Banyak pihak mendesak revisi UU Pemilu dan Pilkada serta penyesuaian peraturan turunan, bahkan jika perlu menggunakan omnibus law agar tidak tumpang tindih dan menimbulkan kekacauan hukum.
Konsolidasi dan Potensi Konflik Internal Parpol
Banyak parpol bersiap melakukan konsolidasi internal dan menggelar rapat kerja nasional untuk menyesuaikan struktur kepengurusan, rekrutmen caleg, serta skema koalisi. Beberapa elite menilai, putusan ini berpotensi memperuncing friksi antar kader karena perubahan pola pemenangan serta besarnya kebutuhan sumber daya manusia. Baca juga tentang Korupsi Migas: Jaksa Sita Kilang Minyak Milik Anak Riza Chalid.
Krisis Demokrasi atau Momentum Reformasi?
Putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan daerah mengakhiri praktik pemilu serentak yang selama ini dikenal efisien dan terintegrasi. Meski dikeluhkan banyak parpol, sebagian pengamat menilai keputusan ini sebagai peluang perbaikan sistem pemilu ke depan. Kunci suksesnya, revisi UU harus tuntas sebelum 2027, aturan transisi diperjelas, dan partisipasi publik tetap dijaga agar pemilu tetap inklusif, kredibel, dan memperkuat demokrasi Indonesia.
Ikuti terus berita terbaru pemilu, polemik parpol, serta analisis sistem politik nasional hanya di portal berita kami. Apakah pemilu terpisah ini justru membuka jalan menuju demokrasi yang lebih sehat? Tulis pendapat Anda di kolom komentar!