Digelar Aksi Protes di Fairmont Jakarta terhadap Revisi UU TNI

Sebelum menjelaskan detil aksi protes, penting untuk memahami substansi dan proses revisi UU TNI. Pemerintah dan DPR, khususnya Komisi I, sejak 12–15 Maret 2025 menggelar pembahasan tertutup terhadap RUU TNI—sebuah langkah yang kemudian menuai kritik karena dipercepat dan dianggap melanggar prinsip transparansi publik. Di antara poin kontroversial, terdapat wacana penempatan prajurit aktif dalam jabatan sipil, serta perubahan usia pensiun yang kontroversial.

Pilihan Lokasi: Hotel Fairmont – Tanda Ketidaksesuaian

Rapat panja digelar di Hotel Fairmont Jakarta (Senayan) pada 14–15 Maret 2025. Lokasi ini dipilih karena dianggap mendukung format rapat marathon malam hari. Namun, penempatan di hotel mewah saat pemerintah tengah menuntut efisiensi anggaran dinilai kontradiktif dan mencerminkan kurangnya komitmen terhadap keterbukaan .

Kronologi Lengkap Aksi Protes

Beberapa tokoh dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, termasuk aktivis KontraS, merespons dengan melakukan interupsi protes pada rapat tertutup:

  1. Masuk ke ruang rapat sekitar pukul 17.49–17.50 WIB pada 15 Maret, dengan membawa poster dan menyuarakan penolakan terhadap proses yang dianggap cacat prosedur dan transparaansi.
  2. Tindakan keamanan menindak: mereka didorong keluar, dan Andrie Yunus sempat terjatuh saat dihalau.
  3. Meski dikeluarkan, mereka tetap bnereka orasi keras di luar ruang rapat, menuntut penghentian revisi dan penolakan atas potensi “dwifungsi” TNI.
  4. Pada pukul 18.00 WIB, pihak hotel meminta mereka meninggalkan lokasi.

Laporan Resmi dan Dugaan Intimidasi

Usai aksi, tiga aktivis dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh satpam Fairmont dengan tuduhan mengganggu ketertiban umum dan melawan pejabat negara. Selain itu, kantor KontraS dan beberapa aktivis mendapat gangguan, seperti panggilan misterius dan malam hari dikunjungi orang tak dikenal—diduga terkait intervensi intelijen TNI AD.


Substansi Protes: Tolak “Dwifungsi”, Tolak Penempatan Prajurit Aktif

Koalisi sipil menyatakan bahwa revisi bisa membuka peluang kembali ke “dwifungsi”—peran ganda TNI di bidang sipil—dan mengubah peran militer jauh dari tujuan reformasi 1998. Mereka juga memprotes penempatan personel militer dalam jabatan sipil dan peningkatan usia pensiun—yang dianggap tidak mendesak dan berpotensi menimbulkan bias struktural terhadap supremasi sipil.


Respons DPR dan Pemerintah

Beberapa pejabat DPR, termasuk Utut Adianto (Ketua Komisi I) dan TB Hasanuddin, membela alasan pemilihan Fairmont sebagai standar dan sesuai SOP DPR yang mengizinkan penggunaan fasilitas luar Gedung DPR bila dibutuhkan. Mereka menyatakan rapat itu maraton dan memerlukan akomodasi intensif. Namun mereka enggan menanggapi lebih dalam terkait kritik substansi perubahan RUU TNI.


Dampak Politik dan Publik

Walaupun hanya dihadiri tiga aktivis, aksi ini memicu sorotan nasional dan menjadi tungkai gelombang aksi #TolakRUUTNI di berbagai daerah. Bahkan di Yogyakarta dan Jakarta tengah Maret 2025, mahasiswa dan masyarakat sipil turun tangan serentak menuntut penyusunan RUU yang lebih terbuka dan demokratis. Aksi di Fairmont pun dipandang sebagai simbol penolakan terhadap dominasi militer dan pelanggaran prinsip reformasi.


Analisis: Signifikansi dan Prospek Kedepan

Protes Fairmont ini lebih dari sekadar aksi simbolik. Ia memperlihatkan dua hal:

  • Tekanan pada proses legislasi: publik kini menuntut pembentukan UU harus melalui mekanisme terbuka, partisipatif, dan profesional, bukan melalui rapat tertutup di hotel.
  • Ketegangan Sipil–Militer: revisi yang mencakup jabatan sipil aktif militer memunculkan potensi konflik antara prinsip reformasi dan lama struktur kekuatan militer.

Kedepannya, DPR dan pemerintah perlu merespons melalui dialog publik, membuka kajian RUU kepada elemen akademik dan masyarakat sipil, serta menghentikan langkah-langkah yang dianggap represif. Bagi koalisi sipil, ini adalah momentum konsolidasi politik untuk menegaskan supremasi sipil dan memperkuat demokrasi pasca-Orde Baru.

Respons Partai Politik

Beberapa fraksi dan tokoh partai memberikan tanggapan publik seputar revisi UU TNI:

  • PDI‑P (TB Hasanuddin)
    TB Hasanuddin dari PDI‑P menyatakan bahwa sudah sekitar 40% dari 92 butir Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) telah dibahas, khususnya mengenai usia pensiun, namun ia enggan berkomentar soal urgensi pembahasan di luar gedung DPR.
  • Gerindra & Presiden Prabowo Subianto
    Presiden Prabowo Subianto, selaku bagian dari pembentuk undang-undang, diberi opsi untuk menunda pengesahan UU jika melihat penerimaan publik masih negatif. Menanti sikap kenegarawanan sebelum tanda tangan final diajukan.
  • Partai Golkar & PPP
    Belum ada pernyataan resmi langsung dari Golkar atau PPP terkait revisi, namun anggota pemerintahan dari koalisi pro‑Pemerintah cenderung mengedepankan efisiensi dan proses yang sesuai prosedur tanpa substansi kritik tajam.
  • Partai Demokrat & PKS
    Sementara itu, beberapa kekuatan oposisi seperti Demokrat dan PKS belum menyampaikan statemen eksplisit. Namun wacana penolakan atas potensi dwifungsi TNI berkembang kuat di kalangan aktivis dan parlemen kecil.

Perkembangan Terbaru Setelah Protes Fairmont

  • Demonstrasi Serentak Mahasiswa (19–20 Maret 2025)
    Mahasiswa dari Trisakti, UGM, UI, serta berbagai kampus menggelar unjuk rasa di depan DPR, menyerukan penarikan legislasi, penolakan dwifungsi TNI, dan penguatan supremasi sipil. Bahkan, Menteri Hukum sempat “dicegat” oleh demonstran di gerbang DPR
  • Tanda-tanda Ketegangan Polisi–Demonstran
    Demonstrasi pada 20 Maret sempat diwarnai benturan ringan antara aparat dan demonstran, serta penggunaan petugas gabungan sekitar 5.000 personel—menunjukkan eskalasi pengamanan seiring memanasnya situasi .
  • Desakan Menunda Pelaksanaan UU
    Sejumlah akademisi dan aktivis, termasuk eks-Menteri Susi Pudjiastuti, menyerukan Presiden Prabowo menunda tanda tangan karena besar jurang penerimaan publik atas RUU tersebut.
  • Pengesahan Resmi DPR (Awal April?)
    Parlemen dianggap telah tetap meloloskan RUU TNI. Tak lama kemudian, Koalisi Kebebasan Berserikat menuntut pencabutan UU yang baru disahkan, menganggapnya mempersempit demokrasi dan mengecam tindakan kekerasan terhadap aktivis.
  • Potensi Tunda Tanda Tangan Presiden
    Hingga akhir April, pemerintah dan DPR memberikan peluang bagi Presiden Prabowo untuk belum mengundangkan UU. Ini menimbulkan spekulasi tentang apakah dia akan mengikuti tekanan publik atau melanjutkan proses legislasi .

Ringkasan Insight & Tantangan Mendatang

AspekRingkasanTantangan
Respons ParpolPro‑Pemerintah (PDI‑P, Gerindra) menjaga prosedur; oposisi seperti Demokrat dan PKS belum banyak bersuara.Partai yang dominan belum menyatakan sikap jelas terkait subtansi UU.
Gelombang AksiDemonstrasi serentak mahasiswa semakin menguatkan penolakan publik.Risiko bentrok meningkat jika DPR bersikeras tanpa dialog publik.
Peran PresidenPresiden punya ruang menunda pengesahan sebagai tanggapan publik.Apakah Prabowo akan menandatangani atau menahan UU?
Koalisi SipilKoalisi Kebebasan Berserikat dan aktivis HAM gencar menuntut pencabutan UU.Harapan demokrasi vs dorongan keamanan militer dipertaruhkan.

Aksi di Fairmont adalah penanda kegelisahan publik terhadap arah reformasi pertahanan. Jika DPR tetap bersikap tertutup dan cepat, dikhawatirkan akan menimbulkan polarisasi sosial-politik lebih lanjut. Sebaliknya, jika jabatan sipil tetap hanya untuk sipil, dan transparansi dijunjung tinggi, revisi UU TNI dapat menjadi implementasi demokrasi yang lebih matang.

Aksi protes tersebut mungkin kecil secara jumlah, tetapi besar secara simbol. Ia menjadi titik kritis antara dua visi: memperkuat supremasi sipil atau memberi ruang lebih besar bagi militer di ranah sipil. Hasil dari proses politik ini akan menentukan wajah demokrasi Indonesia ke depan.