Sejak akhir Mei 2025, ketegangan antara Thailand dan Kamboja kembali menguat di wilayah perbatasan yang dikenal sebagai Segitiga Zamrud (Emerald Triangle). Bentrokan bersenjata meletus secara sporadis, dengan korban jiwa di pihak Kamboja. Meski belum mencapai eskalasi perang terbuka, situasi ini mengundang perhatian internasional, khususnya dari ASEAN dan negara-negara tetangga.
Latar Belakang Perang Dingin Thailand-Kamboja
Konflik antara Thailand dan Kamboja bukanlah hal baru. Perselisihan ini memiliki akar panjang yang membentang hingga era kolonial Prancis di Indochina. Setelah kemerdekaan Kamboja, garis perbatasan yang digambarkan oleh peta kolonial menjadi sumber ketegangan. Sengketa paling mencolok adalah soal kuil Preah Vihear yang diputuskan oleh Mahkamah Internasional (ICJ) pada 1962 untuk dimiliki oleh Kamboja, namun terus diperdebatkan oleh Thailand.
Sejak akhir 1990-an hingga 2011, terjadi sejumlah bentrokan bersenjata yang disebut sebagai “perang dingin perbatasan.” Meski tak pernah berubah menjadi konflik berskala penuh, kedua negara kerap memperkuat militer di zona perbatasan, terutama saat terjadi peralihan kekuasaan politik di masing-masing negara.
Pemicu Konflik Terkini
Bentrokan terbaru pada 28 Mei 2025 diduga dipicu oleh patroli militer yang bersinggungan di daerah Chang Bok. Kamboja menuduh Thailand melintasi zona netral dan memicu tembakan, sementara Thailand menyatakan hanya mempertahankan wilayah sahnya. Peristiwa ini menewaskan satu tentara Kamboja dan menyebabkan kedua belah pihak meningkatkan siaga militer.
Reaksi Domestik dan Nasionalisme Publik
Di Thailand:
- Pemerintah Paetongtarn Shinawatra mendapat tekanan politik untuk bersikap tegas; ada sanksi terhadap bantuan sosial dan ancaman kudeta karena melemahnya dukungan.
- Poll KPI menunjukkan 62% rakyat Thailand sangat percaya pada militer, dibanding hanya 12% dukungan tinggi terhadap pemerintah . Hal ini memperlihatkan ketergantungan masyarakat pada opsi keamanan militer.
Di Kamboja:
- Rakyat mengedepankan diplomasi melalui ICJ sebagai jalan penyelesaian, sebagai reaksi terhadap nationalisme yang tumbuh di Thailand serta warisan historis atas wilayah.
- Pemerintah Kamboja juga melancarkan boikot terhadap hiburan Thailand—film, serial, dan koneksi internet diputus —untuk menekan Thailand lewat sentimen publik.
Langkah Diplomatik dan Jalur Penyelesaian
Perundingan melalui Joint Boundary Commission (JBC) dilaksanakan di Phnom Penh (14–15 Juni). Kedua negara sepakat untuk menarik pasukan ke posisi tahun 2024 dan benar-benar mendinginkan situasi. Thailand mengaku ada kemajuan dialog, namun hasil nyata belum terlihat .
Sementara itu, Kamboja secara resmi mengajukan perkara ke Mahkamah Internasional (ICJ) guna menangani empat wilayah sengketa, termasuk segitiga dan sejumlah situs candi. Thailand masih menolak yurisdiksi ICJ, tetap mengusahakan penyelesaian bilateral .
Kondisi Aktual “Perang” di Lapangan: Realitas vs Rhetorik
Meskipun ketegangan tinggi, situasi saat ini bukan perang penuh, melainkan konfrontasi lokal dan ketegangan politik yang tinggi. Pasukan masih berjaga, jalur perbatasan terbatas atau ditutup, dan penempatan militer tetap ketat . Kedua negara juga mengambil langkah-langkah non-militer seperti blokade hiburan, listrik, dan internet sebagai bagian dari tekanan diplomatik .

Tanggapan dari Warga: Dua Sudut Pandang
Masyarakat di Kamboja:
Banyak yang mendukung jalur hukum dan diplomatik via ICJ daripada provokasi militer. Di televisi lokal terdapat opini: “Kami memilih hukum dan keadilan internasional, bukan kecongkakan militaris Thailand” . Ada kecemasan bahwa rakyat justru terjebak ketegangan akibat bisnis dan infrastruktur terganggu, terlebih pemutusan koneksi listrik dan internet Thailand.
Publik di Thailand:
Rasa nasionalisme melonjak, sebagian mendukung militer malah dibandingkan pemerintah. Forum-forum online dan polling menyatakan keyakinan kuat bahwa “militer-lah yang menjaga kedaulatan” . Namun sebagian kalangan menyoroti dampak ekonomi—turis tertahan, perdagangan terganggu—dan berharap solusi diplomatik yang lebih cepat.
Prospek ke Depan
- Militer: Kedua negara sepakat menurunkan pasukan ke posisi semula, untuk sementara.
- Diplomasi: Dialog melalui JBC terus berjalan; reuni bilateral memberikan secercah harapan untuk redakan ketegangan.
- Hukum: Kamboja bersikeras membawa sengketa ke ICJ; Thailand menolak masuk ICJ, pilih jalan bilateral.
- Politik Domestik: Thailand menghadapi tekanan ekonomi dan poliitk; Kamboja eratkan kekompakan publik lewat sentimen nasionalis.
- Outlook: Risiko konflik bersenjata besar rendah karena tekanan ekonomi, pemerintah regional (ASEAN) mendukung mediasi, dan keterikatan ramai-rama pada saat ini, meski ketegangan bisa terus bertahan dalam bentuk kebijakan dan retorika.