Penertiban masalah Lahan di Alung Banua, Kecamatan Bunaken.

Pagi itu, suasana di Kelurahan Alung Banua, Kecamatan Bunaken, Kota Manado, berubah tegang. Rombongan Satpol PP bersama aparat gabungan datang menuju lokasi yang diklaim sebagai bangunan ilegal, namun disambut oleh warga dengan protes keras. Waktu seakan melambat ketika suara teriakan dan lemparan benda memenuhi udara, memecah ketenangan pagi itu. Insiden inilah yang kemudian menjadi sorotan publik dan membuka kembali perdebatan tentang keadilan, legitimasi penegakan hukum, dan hak-hak rakyat kecil.

Jejak Persoalan: Dari Lahan Hingga Hukum

Sebelum dari kisruh itu bisa dipahami dengan baik, kita mesti melacak akar masalahnya. Alung Banua termasuk dalam kawasan konservasi Taman Nasional Bunaken menurut sejumlah laporan media. Dalam kerangka peraturan, bangunan berdiri di kawasan yang diatur sebagai zona pelindung atau kawasan konservasi umumnya tidak boleh dimiliki secara swasta atau dibangun untuk kepentingan permanen.

Namun di sisi masyarakat, ada fakta bahwa beberapa keluarga telah tinggal di sana puluhan tahun, bahkan sebelum taman nasional ditetapkan. Beberapa mengklaim memiliki kwitansi atau dokumen lama yang menyatakan hak kepemilikan atas tanah tersebut. Ketidaksesuaian antara hukum formal dan realitas sosial ini menjadi benih konflik sejak lama.

Dari sudut kebijakan, pemerintah kota melalui Satpol PP dan instansi terkait memasang dasar bahwa penertiban dilakukan berdasarkan Perda Kota Manado (Perda tentang Bangunan Gedung dan Ketertiban Umum) yang melarang bangunan tanpa izin serta regulasi tata ruang yang membatasi pemanfaatan kawasan konservasi. Apresiasi terhadap petugas yang “tidak terpancing provokasi” pun muncul dalam media lokal, meski situasi akhirnya memicu bentrokan.

Namun demikian, legitimasi itu dipertanyakan oleh warga dan tim pengacara mereka, yang menuding prosedur penertiban banyak melangkah di atas hak-hak dasar warga, tanpa dialog intensif terlebih dahulu.

Benturan dan Eskalasi: Saat Protes Berubah Konflik

Pada Jumat, 18 Juli 2025, rombongan penertiban tiba dengan kapal. Warga sudah mengantisipasi kedatangan itu, mereka berdiri tegar di tepi akses laut dan menyambut dengan pembatasan fisik. Beberapa spanduk penolakan dibentangkan.

Ketika petugas mulai turun dari kapal, situasi memanas. Lemparan batu menghujani keberadaan mereka. Kepala Bidang Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat Kota Manado, Herry Alfrets Ratu, menjadi korban lemparan dan menderita luka tubuh. Ia dievakuasi ke Puskesmas Bunaken.

Upaya eksekusi pun mandek. Aparat memilih menarik diri agar bentrokan lebih besar tidak terjadi.

Dalam suasana ini, tim kuasa hukum warga, antara lain Vianne Mamesah, Irlend Rumengan, Tieneke Rarung, Deddy Paparang, dan Frangky Rumengan, tampil di garis depan menyuarakan keadilan. Mereka menyatakan akan mempertahankan hak masyarakat lewat jalur hukum dan menolak tindakan yang dianggap semena-mena.

Beberapa pihak juga kemudian menyebut bahwa Lurah Alung Banua dan Camat Bunaken sempat “menghilang” saat situasi puncak kerusuhan, memicu kemarahan warga yang merasa pemimpin lokalnya tak hadir di saat genting. Setelah itu, muncul tuntutan agar Lurah dan Camat diganti.

Dari sudut media, ada yang memuji Satpol PP tidak gampang terpancing provokasi dan tetap berusaha tenang dalam menghadapi keributan awal. Tetapi pujian itu tak banyak meredam gelombang kritik terhadap cara pelaksanaan penertiban.

Persoalan Legitimasi dan Hak Warga

Konflik di Alung Banua bukan sekadar perkara bangunan ilegal versus aturan kota. Ia juga soal bagaimana negara menghadapi warga yang sudah lama hidup di ‘zona abu-abu’ antara legalitas formal dan eksistensi nyata.

Warga yang mengklaim hak kepemilikan merasa penertiban dilakukan tanpa dialog memadai. Dalam pernyataan mereka: “Ini tanah kami, kami sudah tinggal di sini sebelum ada taman nasional. Kami tidak akan pergi begitu saja.” Lantaran itu, banyak menilai eksekusi semacam ini bersifat top-down dan memaksa, bukan menyejahterakan.

Negara, melalui Pemkot Manado dan Satpol PP, punya kewajiban menjaga tata ruang, ekosistem kawasan konservasi, serta melindungi hak publik. Tetapi di ranah masyarakat, hak-hak sosial, historis, dan keadilan distributif juga tak boleh diabaikan. Bila pemerintah terlalu agresif, warga kecillah yang sering jadi korban, dilecehkan dalam proses hukum yang sulit dikesampingkan.


Beragam Respons: Dari Kritik hingga Dukungan

Ragam tanggapan bermunculan selepas insiden. Sebagian masyarakat Alung Banua menyerukan agar Lurah dan Camat diganti karena dianggap absen saat bentrokan. Ada juga pihak yang mengapresiasi penegakan Perda dan tindakan Satpol PP sebagai langkah tegas terhadap bangunan liar, sesuai aturan.

Beberapa elemen warga, bersama advokatnya, menyerukan agar penertiban tidak sekadar fisik tetapi juga berbasis dialog, transparansi peta kawasan, dan redistribusi atau kompensasi bila memang warga terdampak secara sosial-ekonomi.

Kemudian muncul tuntutan agar pemerintah serius memperbaiki komunikasi, mengaudit status hukum lahan yang diklaim warga, dan melakukan klarifikasi terbuka soal peta kawasan konservasi. Beberapa tokoh masyarakat mengatakan bahwa tanpa mekanisme transparan, konflik serupa bisa terjadi lagi di titik lain di Manado.

Melihat dari Sudut Pribadi

“Penegakan aturan bisa menjadi alat penindasan jika diurusi tanpa rasa adil”

Kalimat itu terus terngiang ketika saya menyaksikan perjalanan konflik Alung Banua. Ada kewajiban negara menghormati hukum, tapi ada pula kewajiban menjaga martabat rakyat yang tinggal di sana. Bila penegakan hukum tidak disertai keseimbangan moral dan rasa kemanusiaan, ia justru menjadi pemicu penderitaan baru.

Kekerasan simbolik dan fisik dalam penertiban bukanlah solusi berkelanjutan. Harmoni sosial tidak lahir dari kupasan paksa semata, melainkan dari dialog, rekonsiliasi, dan pengakuan atas eksistensi warga sebagai subjek, bukan objek kebijakan.


Apa yang Harus Diubah?

Langkah penertiban secara paksa mungkin memberikan efek jera, tapi juga meninggalkan bekas luka sosial. Jika penertiban di Alung Banua dijadikan pelajaran, berikut beberapa aspek yang perlu diperbaiki:

Pendekatan Terbuka dan Partisipatif

Jangan mulai eksekusi sebelum dialog memadai. Undang warga, tim ahli konservasi, dan advokat independen untuk membahas peta kawasan, batasan hukum, serta skema pemindahan atau kompensasi jika diperlukan.

Verifikasi Legalitas Individu

Sebelum memutuskan bahwa bangunan ilegal, lakukan pengecekan historis dokumen warga. Bila ada kwitansi lama atau bukti penggunaan, kaji ulang secara adil.

Peta Zona Transparan dan Diumumkan Publik

Peta kawasan konservasi harus jelas, dibicarakan publik, dan tidak berubah tiba-tiba tanpa pemberitahuan kepada warga terdampak.

Proteksi Proses Hukum

Petugas harus melaksanakan perintah (jika ada) dengan pendampingan institusi yudisial atau legitimasi pengadilan. Gangguan terhadap aparat (kalau ada) harus ditindak, tapi aparat juga harus tunduk pada batasan profesional.

Rekonsiliasi & Kompensasi

Jika warga benar-benar harus digusur, sediakan alternatif lokasi yang layak atau kompensasi ekonomi yang memadai agar kehidupan mereka tidak hancur.

Monitoring Independen

Libatkan lembaga pengawas independen atau masyarakat sipil untuk memantau pelaksanaan penertiban agar tidak terjadi pelanggaran HAM atau penyalahgunaan wewenang.

Kericuhan di Alung Banua menunjukkan bahwa di balik urusan tata ruang dan konservasi ada manusia yang hidup dengan harapan mereka sendiri. Tanpa keseimbangan antara penegakan hukum dan keadilan sosial, konflik infil nya lebih besar dari yang bisa diobati dengan reruntuhan bangunan.