Konflik Iran dan Israel 2025 : Operasi Rising Lion dan Krisis Geopolitik

Konflik antara Iran dan Israel telah berlangsung selama lebih dari empat dekade, namun pada pertengahan tahun 2025, dunia menyaksikan babak baru yang lebih brutal, langsung, dan penuh risiko global. Operasi militer Israel bertajuk Operation Rising Lion bukan hanya menjadi puncak dari ketegangan jangka panjang, tetapi juga membuka kemungkinan lahirnya konflik regional yang lebih luas. Artikel ini mengurai latar belakang, dinamika strategi, respons Iran, serta dampak geopolitik dari perang yang mengguncang Timur Tengah ini.

Akar Konflik Iran-Israel: Bukan Sekadar Perbedaan Ideologi

Sebelum membahas konflik terbuka yang terjadi, penting untuk memahami akar permusuhan antara Iran dan Israel. Permusuhan ini tidak terjadi semata-mata karena perbedaan ideologi, tetapi juga dipengaruhi oleh transformasi politik besar yang terjadi sejak Revolusi Iran 1979. Ketika Iran berubah menjadi negara Islam revolusioner di bawah kepemimpinan Ayatollah Khomeini, negara tersebut mulai memosisikan Israel sebagai musuh eksistensial.

Iran menyokong kelompok-kelompok militan seperti Hezbollah di Lebanon dan Hamas di Palestina sebagai bagian dari “poros perlawanan” terhadap Israel. Di sisi lain, Israel, yang khawatir terhadap ambisi nuklir Iran, selama bertahun-tahun melancarkan operasi rahasia, pembunuhan ilmuwan, dan serangan udara terhadap infrastruktur Iran di Suriah. Konflik ini lama berada di bawah permukaan, namun memuncak ke permukaan dalam bentuk perang terbuka di pertengahan 2025.

Operasi Rising Lion Dimulai

Pada dini hari tanggal 13 Juni 2025, Israel meluncurkan Operation Rising Lion, sebuah serangan udara dan intelijen terbesar dalam sejarah konfrontasi mereka dengan Iran. Lebih dari 200 pesawat tempur dikerahkan untuk menyerang lebih dari 100 target strategis di wilayah Iran. Target-target tersebut mencakup fasilitas nuklir utama seperti Natanz dan Isfahan, pangkalan rudal di Kermanshah dan Tabriz, markas besar IRGC di Teheran, serta pusat komunikasi dan radar pertahanan udara.

Operasi ini didukung oleh kampanye spionase besar-besaran Mossad yang sebelumnya telah menyusupkan drone kecil dan senjata presisi ke dalam wilayah Iran. Target-target ini terlebih dahulu dilumpuhkan dengan sabotase dan pemadaman radar, sehingga jet tempur Israel dapat menyerang secara presisi. Serangan juga menyasar pemimpin-pemimpin penting IRGC dan ilmuwan nuklir Iran, termasuk yang disebut sebagai “arsitek utama” program pengayaan uranium.

Operation Rising Lion dirancang sebagai operasi multidimensi yang menggabungkan kekuatan udara, intelijen, dan perang siber. Nama operasi ini sendiri merujuk pada simbol “singa” dalam budaya Persia kuno dan Zionis modern, menjadikannya sebagai pesan simbolik bagi kekuatan dan kebangkitan.

Israel menggunakan sistem drone otonom dan teknologi stealth yang dirancang khusus untuk menembus wilayah udara Iran tanpa terdeteksi. Fase pertama operasi melibatkan penghancuran sistem radar dan pertahanan udara Iran menggunakan drone mikro, yang disusul oleh gelombang serangan udara presisi tinggi. Fase kedua ditujukan untuk menghancurkan infrastruktur militer dan nuklir yang tersembunyi di bawah tanah.

Yang membuat operasi ini sangat signifikan adalah keberhasilannya melumpuhkan sejumlah besar kekuatan militer Iran tanpa kehilangan pesawat atau personel di pihak Israel, menunjukkan supremasi teknologi dan intelijen Tel Aviv. Keberhasilan ini juga dinilai sebagai bentuk tekanan psikologis terhadap rezim Iran, bahwa pertahanan mereka dapat ditembus secara sistematis dan dalam skala besar.

Tujuan Strategis Israel

Israel menyebut operasi ini sebagai tindakan “preventif” untuk menghentikan program senjata nuklir Iran yang diduga sudah mencapai tahap kritis. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan bahwa ini adalah langkah untuk mencegah “holocaust kedua” dan mendesak rakyat Iran untuk menggulingkan rezim mereka. Dalam pidato resminya, Netanyahu menegaskan bahwa serangan ini ditujukan kepada struktur militer dan bukan kepada warga sipil Iran.

Selain penghancuran fisik, Israel juga ingin menciptakan tekanan psikologis dan politik di dalam negeri Iran agar masyarakat memberontak terhadap rezim teokratik. Kampanye media sosial besar-besaran digerakkan dari luar negeri untuk memperkuat narasi ini.

Balasan Iran: Rudal dan Drone Menuju Israel

Iran tidak tinggal diam. Dalam dua gelombang besar serangan balasan, Iran meluncurkan puluhan rudal balistik jarak menengah dan drone kamikaze ke arah kota-kota utama Israel, termasuk Tel Aviv dan Haifa. Sebagian besar proyektil berhasil diintersep oleh sistem pertahanan udara Iron Dome dan David’s Sling. Namun, beberapa rudal menghantam kawasan sipil dan militer, menimbulkan korban jiwa serta kerusakan infrastruktur.

Iran menyebut balasan ini sebagai hak pembelaan diri dan peringatan keras atas intervensi militer asing. Kementerian Pertahanan Iran juga menyatakan bahwa program nuklir mereka tidak akan berhenti meski mendapat serangan, dan malah mempercepat proses pengayaan uranium.

Peran Proxy dan Risiko Perluasan Konflik

Perang langsung antara Iran dan Israel ini juga mengaktifkan berbagai milisi dan proxy Iran di kawasan. Hezbollah di Lebanon mulai menembakkan roket ke Israel Utara, sementara Houthi di Yaman menyerang kapal-kapal dagang yang dianggap berafiliasi dengan Israel di Laut Merah. Serangan ini memperluas medan tempur dan meningkatkan risiko konflik regional.

Beberapa negara Teluk, seperti Arab Saudi dan UEA, memperkuat pertahanan udaranya sebagai antisipasi kemungkinan serangan balasan dari Iran. Situasi ini membuat kawasan Timur Tengah berada di ambang konflik multinasional.

Respons Internasional: Dunia Menyerukan De-eskalasi

Reaksi internasional terhadap konflik ini beragam. Amerika Serikat mendukung Israel secara militer dengan mengirimkan sistem pertahanan tambahan, namun juga menekan Israel untuk tidak memperluas eskalasi. Uni Eropa dan negara-negara G7 mendesak kedua belah pihak untuk segera melakukan gencatan senjata dan kembali ke meja perundingan.

Rusia dan China mengutuk serangan Israel dan menyatakan dukungan diplomatik terhadap Iran, meskipun menolak memberikan bantuan militer langsung. PBB mengadakan pertemuan darurat Dewan Keamanan, namun tidak menghasilkan resolusi konkret karena veto dari anggota tetap.

Dampak Ekonomi dan Keamanan Global

Kenaikan harga minyak menjadi salah satu dampak langsung dari perang ini, karena kawasan Teluk menjadi zona rawan konflik. Jalur pelayaran di Selat Hormuz terancam terganggu, dan pasar keuangan global menunjukkan volatilitas tinggi. Investor internasional mengalihkan aset mereka ke instrumen yang lebih aman.

Selain itu, konflik ini juga menimbulkan krisis kemanusiaan baru. Ribuan warga Iran dan Israel mengungsi dari zona konflik, sementara rumah sakit kewalahan menerima korban luka dan tewas. Organisasi kemanusiaan internasional kesulitan menjangkau daerah terdampak karena ancaman keamanan.

Pandangan dari Indonesia: Netral Aktif dan Seruan Kemanusiaan

Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan bagian dari Gerakan Non-Blok, Indonesia mengambil posisi netral aktif dalam konflik ini. Pemerintah Indonesia menyerukan penghentian kekerasan dan pentingnya solusi damai melalui diplomasi. Kementerian Luar Negeri RI juga mendorong PBB dan OKI untuk mengambil langkah nyata dalam menciptakan gencatan senjata.

Secara domestik, berbagai elemen masyarakat sipil di Indonesia menyatakan solidaritas terhadap korban sipil, baik di Iran maupun Israel. Demonstrasi damai, penggalangan dana, dan aksi sosial digelar di berbagai kota besar sebagai bentuk empati terhadap krisis kemanusiaan ini.

Perang yang Membawa Dunia di Ujung Jurang

Operation Rising Lion telah menjadi penanda bahwa konflik lama yang dipendam bisa meletus menjadi perang terbuka dalam sekejap. Dengan kompleksitas geopolitik, dimensi keagamaan, dan ketegangan militer, perang Iran-Israel ini berpotensi mengubah struktur keamanan global.

Pertanyaannya kini adalah: akankah dunia membiarkan konflik ini berkembang menjadi perang regional atau bahkan global, ataukah mampu memanfaatkan jalur diplomasi untuk mengakhiri spiral kekerasan ini?

Indonesia dan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara harus memperkuat posisi netralnya, menjadi mediator, dan terus mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan di tengah panasnya api permusuhan di Timur Tengah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *