Pencabutan izin (moratorium) Tambang Nikel di Raja Ampat !

Langkah dramatis Pemerintah Indonesia untuk mencabut izin tambang nikel di wilayah Raja Ampat menuai beragam tanggapan dari publik. Dikenal sebagai “surga terakhir di bumi”, Raja Ampat merupakan kawasan konservasi laut kelas dunia yang kini menjadi medan tarik-menarik antara kepentingan investasi dan komitmen pelestarian lingkungan. Sebagai analis politik, saya melihat pencabutan izin ini bukan sekadar kebijakan lingkungan, tapi juga cerminan ketegangan antara pusat dan daerah, antara ekonomi ekstraktif dan masa depan hijau Indonesia.

Latar Belakang Krisis Lingkungan dan Akar Masalah

Raja Ampat yang telah ditetapkan sebagai UNESCO Global Geopark pada 2023 menyimpan lebih dari 75% spesies karang dunia dan 1.600-an jenis ikan. Namun, aktivitas eksplorasi tambang nikel di beberapa pulau seperti Kawe, Manuran, dan Gag mulai mengusik keutuhan ekosistemnya. Greenpeace menyebut adanya deforestasi lebih dari 500 hektar serta potensi sedimentasi yang bisa merusak terumbu karang.

Ironisnya, izin usaha pertambangan (IUP) di kawasan ini sudah dikeluarkan sejak awal 2000-an oleh Pemerintah Kabupaten Raja Ampat dan Pemerintah Provinsi Papua Barat, sebelum kawasan ini mendapatkan status konservasi. Kala itu, izin diberikan kepada perusahaan seperti PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining.

Siapa yang Memberi Izin dan Kapan?

Sebagian besar izin diberikan antara tahun 2004 hingga 2013, ketika otoritas daerah masih memegang kewenangan penuh atas perizinan tambang. IUP ini diberikan tanpa kajian lingkungan yang memadai dan tidak dilengkapi dokumen seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang disahkan pusat.

Ketika kewenangan perizinan tambang ditarik ke pusat pasca UU Cipta Kerja dan UU Minerba, izin-izin lama ini menjadi sorotan karena dinilai tidak lagi relevan dengan kebijakan tata ruang dan konservasi terkini.

Pencabutan Izin oleh Pemerintah Pusat

Pada 10 Juni 2025, Presiden Prabowo Subianto memutuskan mencabut izin keempat perusahaan tersebut. Melalui koordinasi dengan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dan Menteri KLHK, keputusan ini diambil karena sejumlah pelanggaran administratif dan ekologis. Tidak adanya RKAB, pelanggaran kawasan konservasi, serta tidak adanya kegiatan reklamasi menjadi landasan kuat pencabutan.

Keputusan ini juga didorong oleh tekanan publik dan protes dari masyarakat adat, aktivis lingkungan, hingga komunitas wisata. Kampanye #SaveRajaAmpat semakin memperkuat argumen bahwa kekayaan ekologis jauh lebih berharga daripada kekayaan mineral yang hanya bertahan sementara.

Status PT Gag Nikel dan Pengecualian

Satu perusahaan yang tetap diizinkan beroperasi adalah PT Gag Nikel, anak usaha Antam, BUMN tambang. Izin perusahaan ini berada dalam Kontrak Karya sejak 1998 dan telah diperbarui secara legal. Lokasinya dinilai berada di luar zona konservasi UNESCO dan telah memenuhi kewajiban reklamasi atas lebih dari 50% lahan terbuka.

Namun demikian, pemerintah pusat menegaskan bahwa PT Gag Nikel akan terus diawasi ketat. Jika ditemukan pelanggaran tambahan, termasuk pencemaran laut atau pengabaian hak masyarakat lokal, izinnya juga dapat ditinjau ulang.

Dinamika Politik dan Tantangan Tata Kelola

Pencabutan izin tambang ini memunculkan berbagai tantangan hukum dan politik. Beberapa perusahaan yang izinnya dicabut mempertimbangkan gugatan hukum, mengklaim legalitas administratif masih berlaku. Di sisi lain, Komnas HAM dan KPK mulai menyelidiki potensi pelanggaran HAM dan indikasi korupsi dalam proses perizinan tambang di Raja Ampat.

Pengamat politik dan ekonomi menilai bahwa pemerintah perlu berhati-hati agar tidak membuka celah gugatan arbitrase internasional. Oleh karena itu, proses pencabutan harus disertai audit hukum, keterlibatan masyarakat adat, dan rekomendasi dari lembaga lingkungan serta tata ruang nasional.

Antara Energi Bersih dan Kerusakan Ekologis

Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia. Komoditas ini menjadi pilar utama dalam industri baterai kendaraan listrik dan transisi energi global. Namun, eksploitasi nikel tanpa pengawasan ketat justru menimbulkan paradoks: demi energi hijau, lingkungan lokal dikorbankan.

Raja Ampat bukan hanya tempat wisata, melainkan zona penyangga ekosistem dunia. Kerusakan laut di kawasan ini akan berdampak global. Oleh karena itu, pendekatan pembangunan yang mengandalkan ekstraksi nikel harus ditinjau ulang, terutama di kawasan pulau kecil dan konservasi.

Jalan Menuju Tata Kelola Berkelanjutan

Langkah strategis yang bisa diambil ke depan antara lain:

  • Menetapkan moratorium menyeluruh terhadap tambang di kawasan konservasi laut;
  • Melakukan revisi tata ruang nasional agar sinkron dengan status geopark dan UU lingkungan;
  • Mengembangkan ekowisata dan ekonomi biru sebagai alternatif ekonomi masyarakat lokal;
  • Mewajibkan reklamasi dan audit lingkungan bagi seluruh perusahaan yang pernah beroperasi;
  • Memberi ruang bagi partisipasi masyarakat adat dan NGO dalam proses perizinan.

Ujian Komitmen Pemerintah

Pencabutan izin tambang nikel di Raja Ampat adalah langkah awal yang tepat. Tapi ini baru permulaan. Pemerintah perlu memastikan bahwa komitmen terhadap lingkungan tidak hanya dijadikan pencitraan, melainkan diikuti reformasi menyeluruh dalam pengelolaan sumber daya alam.

Indonesia dihadapkan pada dilema besar: apakah akan terus mengejar pertumbuhan ekonomi jangka pendek melalui eksploitasi tambang, atau membangun masa depan hijau yang berakar pada keadilan ekologis dan hak masyarakat adat. Raja Ampat kini menjadi cermin bagi arah pembangunan nasional—dan seluruh dunia sedang memperhatikan.