Proyek Tanggul Laut raksasa senilai Rp1.200 hingga Rp1.300 triliun (setara dengan US$80 miliar) kembali menjadi sorotan nasional. Digagas sebagai upaya monumental untuk menyelamatkan kawasan pesisir Jakarta dan Pantura Jawa dari ancaman banjir serta kenaikan permukaan air laut, proyek ini menjadi polemik di tengah tantangan fiskal negara, perubahan iklim, serta sensitivitas geopolitik kawasan pesisir. Sebagai analis politik, saya akan mengurai secara detail dimensi kebijakan, kepentingan aktor, hingga proyeksi jangka panjang proyek ini dalam lanskap politik dan ekonomi Indonesia.
Latar Belakang dan Urgensi Proyek Tanggul Laut
Tanggul Laut Raksasa atau “Giant Sea Wall” merupakan proyek bagian dari National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Dirancang sejak awal 2010-an, proyek ini mencuat akibat tingginya laju penurunan tanah di Jakarta Utara, bersamaan dengan naiknya permukaan laut secara global. Kombinasi keduanya diprediksi bisa membuat sebagian wilayah Jakarta terendam permanen pada tahun 2050 jika tidak ada intervensi.
Penurunan Muka Tanah dan Perubahan Iklim
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan bahwa Jakarta mengalami penurunan permukaan tanah hingga 25 cm per tahun di beberapa titik. Ditambah dengan proyeksi IPCC terkait kenaikan permukaan air laut sebesar 1 meter pada akhir abad ini, ancaman ini bukan lagi sekadar prediksi, melainkan kenyataan yang perlahan mendekat.
Kepadatan Penduduk dan Beban Infrastruktur
Jakarta adalah rumah bagi lebih dari 10 juta penduduk, dan kawasan pesisir utara merupakan lokasi padat penduduk dengan aktivitas ekonomi tinggi. Infrastruktur drainase dan kanal yang ada sudah kewalahan menghadapi banjir musiman maupun rob tahunan. Oleh karena itu, pembangunan tanggul laut dinilai sebagai langkah logis sekaligus mendesak.
Skema Pendanaan: Masuk Akal atau Terlalu Ambisius?
Nilai proyek yang mencapai Rp1.200 hingga Rp1.300 triliun menjadi pertanyaan besar dalam ruang publik. Dana sebesar itu hampir setara dengan seperempat APBN Indonesia tahun 2025. Pemerintah mengklaim akan memadukan skema pembiayaan dari APBN, pinjaman luar negeri, serta investasi swasta.
Ketergantungan pada Asing
Salah satu kontroversi besar adalah keterlibatan lembaga-lembaga asing seperti Belanda dan Jepang dalam perencanaan dan kemungkinan pendanaan. Pemerintah Indonesia juga secara terbuka mengundang investor dari Tiongkok, Jepang, Korea, Timur Tengah, dan Eropa untuk turut berpartisipasi dalam proyek ini. Hal ini memunculkan sentimen politik dalam negeri terkait kedaulatan kebijakan pembangunan serta risiko ketergantungan fiskal.
Potensi Kolusi dan Pembengkakan Anggaran
Sejumlah pengamat anti-korupsi memperingatkan bahwa proyek jumbo semacam ini rentan terhadap pembengkakan biaya dan praktik kolusi antara pengembang dan pejabat negara. Belajar dari proyek-proyek infrastruktur besar sebelumnya, transparansi dan akuntabilitas menjadi isu krusial.
Aktor Politik dan Kepentingan yang Bermain
Proyek sebesar ini tidak bisa dilepaskan dari tarik-menarik kepentingan politik. Baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga elite bisnis memiliki kepentingan masing-masing.
Pemerintah Pusat vs Pemprov DKI
Meski proyek NCICD dikoordinasikan oleh pemerintah pusat, implementasinya banyak beririsan dengan kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Presiden Prabowo mendorong agar Pemprov DKI ikut menanggung biaya pembangunan tahap awal di Teluk Jakarta senilai sekitar US$8 hingga US$10 miliar, dengan skema pembagian dana sekitar US$1 miliar per tahun dari masing-masing pemerintah pusat dan daerah. Pembentukan badan otorita khusus, yaitu Badan Otorita Tanggul Laut Pantura Jawa, juga sedang disiapkan.
Kepentingan Pengembang Swasta
Sebagian proyek tanggul laut akan dibarengi dengan reklamasi pulau dan pembangunan properti komersial. Ini menjadi magnet bagi pengembang swasta yang melihat peluang besar di balik bencana. Namun ini juga menuai protes dari masyarakat pesisir dan aktivis lingkungan hidup.
Dampak Sosial dan Lingkungan: Solusi atau Ancaman Baru?
Tak dapat disangkal bahwa pembangunan tanggul laut akan mengubah secara drastis lanskap sosial dan lingkungan pesisir Jakarta. Pertanyaan pentingnya: perubahan seperti apa yang akan terjadi?
Penggusuran dan Ketimpangan Sosial
Ratusan ribu warga pesisir berpotensi tergusur dari wilayah tempat tinggal mereka. Dalam banyak kasus, proyek infrastruktur besar sering kali tidak memberikan kompensasi yang adil bagi warga terdampak. Ini menjadi bom waktu sosial jika tidak dikelola dengan pendekatan yang berkeadilan.
Risiko Lingkungan Jangka Panjang
Tanggul laut berpotensi mengganggu aliran air sungai dan ekosistem pantai. Beberapa ahli memperingatkan bahwa jika tidak dirancang secara holistik, proyek ini justru dapat memperparah banjir di titik lain atau menciptakan masalah lingkungan baru.
Tanggapan Masyarakat dan Tokoh Publik
Respon publik terhadap proyek ini terbagi dua. Di satu sisi, ada dukungan karena dianggap sebagai solusi jangka panjang terhadap banjir. Namun di sisi lain, banyak yang skeptis atas transparansi dan urgensinya.
Pandangan Warga Pesisir
“Kami takut digusur, tapi juga capek setiap tahun rumah kami kebanjiran,” ujar seorang warga Muara Baru. Sentimen semacam ini mencerminkan dilema warga pesisir yang berada di antara kebutuhan perlindungan dan ketidakpastian masa depan.
Kritik dari Aktivis Lingkungan
“Proyek ini hanya akan melindungi yang kaya dan mengorbankan yang miskin,” kata seorang aktivis lingkungan dari Koalisi Save Jakarta Bay. Mereka menyoroti bahwa pembangunan tanggul lebih berpihak pada investasi properti dibanding penyelamatan lingkungan.
Proyeksi Politik dan Ekonomi ke Depan
Proyek ini dapat menjadi warisan politik besar atau bumerang elektoral, tergantung bagaimana ia dijalankan. Dalam kontestasi politik nasional, proyek tanggul laut bisa dijadikan alat kampanye tentang pembangunan atau malah dikritik sebagai simbol kemewahan dan pemborosan.
Potensi sebagai Legacy Nasional
Jika berhasil, proyek ini dapat mengukir nama Indonesia dalam pembangunan adaptif terhadap perubahan iklim. Ia bisa menjadi benchmark global dalam urban resilience.
Risiko Gagal dan Biaya Politik
Namun jika proyek ini mangkrak, bocor dana, atau malah menimbulkan kerusakan sosial, maka ia berisiko menjadi simbol kegagalan tata kelola megaproyek di negeri ini.
Jalan Panjang Menuju Perlindungan Pesisir
Proyek Tanggul Laut Rp1.200 hingga Rp1.300 triliun bukanlah proyek biasa. Ia adalah refleksi dari kompleksitas antara kebutuhan ekologis, manajemen risiko iklim, tekanan fiskal, serta pertarungan kepentingan politik dan ekonomi. Sebagai analis politik, saya menilai bahwa keberhasilan proyek ini bukan semata pada berdirinya struktur beton raksasa di utara Jakarta, tetapi pada bagaimana prosesnya berjalan: apakah inklusif, transparan, dan adil.
Dengan pelibatan banyak pihak—mulai dari pusat, daerah, lembaga asing, hingga swasta—proyek ini harus dijalankan dengan akuntabilitas penuh. Masyarakat Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar simbol pembangunan. Mereka membutuhkan jaminan bahwa setiap rupiah dari proyek ini membawa manfaat nyata, bukan sekadar proyek mercusuar yang menenggelamkan harapan warga pesisir.