Dalam beberapa pekan terakhir, Bangkok dan sejumlah kota besar di Thailand kembali menjadi sorotan dunia setelah ribuan demonstran turun ke jalan menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra. Aksi ini terjadi setelah beredarnya rekaman percakapan telepon antara PM Thailand Paetongtarn dengan mantan Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, yang dinilai memalukan dan dianggap melemahkan martabat bangsa serta militer Thailand. Gelombang protes ini menjadi titik panas terbaru dalam krisis politik berkepanjangan yang selama ini menghantui negeri Gajah Putih.
Latar Belakang Protes Kepada PM Thailand: Dari Rekaman Bocor Hingga Krisis Koalisi
Awal mula krisis ini berakar dari tersebarnya rekaman telepon antara PM Thailand Paetongtarn dan Hun Sen di media sosial pada pertengahan Juni 2025. Dalam percakapan berdurasi hampir dua puluh menit tersebut, terdengar beberapa pernyataan Paetongtarn yang dianggap melemahkan posisi militer Thailand dan terlalu dekat dengan penguasa Kamboja. Bocoran ini dengan cepat menyulut kemarahan di kalangan nasionalis, militer, dan warga sipil yang selama ini sudah geram dengan pemerintahan keluarga Shinawatra.
Reaksi Parlemen dan Koalisi
Tidak lama setelah rekaman tersebut viral, Partai Bhumjaithai mitra utama dalam koalisi pemerintahan secara mengejutkan mengumumkan penarikan diri. Langkah ini menyebabkan pemerintahan PM Thailand Paetongtarn kehilangan mayoritas dukungan di parlemen dan semakin terdesak secara politik. Berbagai tokoh oposisi, mahasiswa, hingga aktivis prodemokrasi langsung menyerukan aksi massa untuk menekan pemerintah dan mendorong sidang darurat di parlemen.
Kronologi Demonstrasi Kepada PM Thailand: Ribuan Massa Geruduk Pusat Kota Bangkok
Puncak demonstrasi terjadi pada akhir Juni 2025. Ribuan warga dari berbagai elemen masyarakat memadati kawasan Victory Monument dan jalan utama menuju Gedung Parlemen PM Thailand. Mereka membawa spanduk bertuliskan “Ung Ing Get Out” dan “Save Thai Democracy”, mengibarkan bendera nasional, serta meneriakkan yel-yel menuntut pengunduran diri PM Paetongtarn. Di antara peserta aksi, terlihat kehadiran tokoh-tokoh senior, veteran gerakan Kuning, mahasiswa, dan warga biasa yang bersatu menolak arogansi elit politik.
Tekanan Nasionalis dan Sikap Militer
Bukan hanya massa sipil, beberapa kelompok berseragam kuning yang selama ini dikenal sebagai simpatisan monarki juga ikut turun ke jalan. Mereka menuding PM Thailand Paetongtarn telah mengkhianati semangat nasionalisme dan melukai harga diri militer. Beberapa jenderal aktif dan purnawirawan bahkan mengeluarkan pernyataan terbuka yang menuntut pemerintah bertanggung jawab secara moral dan konstitusional.
Dampak Politik: Pemerintahan di Ujung Tanduk
Situasi politik semakin memburuk setelah Mahkamah Konstitusi Thailand memutuskan untuk menskors PM Thailand Paetongtarn pada awal Juli 2025. Dengan suara mayoritas, Mahkamah menilai ada indikasi pelanggaran etik berat sehingga jabatan kepala pemerintahan harus segera dinonaktifkan sampai sidang putusan akhir. Posisi PM kini diisi oleh pejabat sementara Suriya Juangroongruangkit, sementara parlemen mulai membahas opsi mosi tidak percaya dan kemungkinan pembentukan pemerintahan baru.
Reaksi Internasional dan Investor
Gelombang demonstrasi dan instabilitas politik ini tak luput dari perhatian komunitas internasional. Sejumlah negara tetangga dan organisasi regional mendesak pemerintah Thailand untuk menghormati prinsip demokrasi dan hak berekspresi damai. Sementara itu, para investor asing mulai mencermati perkembangan situasi karena indeks bursa Thailand turun tajam akibat sentimen negatif dan ketidakpastian masa depan pemerintahan.
Analisis Akar Konflik: Keluarga Shinawatra vs Elit Konservatif
Konflik antara pendukung keluarga Shinawatra dan kubu konservatif nasionalis sebenarnya telah berlangsung selama dua dekade terakhir. Setiap kebangkitan Shinawatra di panggung politik selalu dihadang gelombang perlawanan baik dari militer, monarki, maupun elit bisnis yang menginginkan stabilitas lama tetap bertahan. Krisis 2025 ini mempertegas betapa dalamnya luka lama dan minimnya rekonsiliasi di tubuh politik Thailand.
Dimensi Sosial: Peran Mahasiswa dan Aktivis
Mahasiswa dan kaum muda Thailand memanfaatkan momentum protes untuk menyuarakan agenda reformasi politik dan transparansi pemerintahan. Mereka menolak politik uang, praktik dinasti, serta menuntut pemilihan umum yang bebas dari intervensi aparat. Aksi turun ke jalan ini menjadi simbol bahwa generasi muda tidak ingin masa depan negara ditentukan oleh elit lama yang terus-menerus berkonflik.
Proyeksi Ke Depan: Pemilu Ulang atau Rekonsiliasi?
Masa depan politik Thailand kini berada di tangan parlemen dan institusi yudikatif. Beberapa skenario yang mungkin terjadi adalah pemilu ulang jika mosi tidak percaya terhadap pemerintah diterima, atau pembentukan kabinet darurat dari koalisi baru yang lebih inklusif. Namun, pengamat menilai peluang rekonsiliasi tetap kecil selama tidak ada perubahan signifikan dalam sistem politik dan kepemimpinan nasional.
Harapan dan Ketakutan Publik
Sebagian warga berharap krisis kali ini bisa membuka jalan bagi reformasi politik yang sesungguhnya, namun sebagian lain khawatir akan terjadinya kekacauan dan intervensi militer seperti tahun-tahun sebelumnya. Stabilitas politik dan ekonomi Thailand di masa depan kini sangat bergantung pada kemampuan elit nasional untuk berdialog dan menahan ego masing-masing. Baca juga tentang PSI Gelar Pemilihan Ketum Baru.
Thailand di Titik Kritis Sejarah Demokrasi
Gelombang demonstrasi ribuan warga yang menuntut PM Thailand mundur menandai babak baru dalam sejarah politik modern negeri Gajah Putih. Krisis terbaru ini memperlihatkan rapuhnya fondasi demokrasi dan perlunya pembenahan institusi politik secara menyeluruh. Masyarakat internasional dan rakyat Thailand menanti, apakah pemimpin negeri itu mampu meredam konflik dan membawa bangsa menuju demokrasi yang stabil serta berkeadilan.
Ikuti terus perkembangan terbaru krisis politik Thailand dan analisis dampaknya hanya di portal berita kami. Berikan komentar dan pandangan Anda, apakah Thailand bisa keluar dari pusaran konflik kekuasaan dan mewujudkan cita-cita reformasi?